Cerpen Remaja “Anak Pungut”

Anak Pungut

 

Aku tak pernah mengenal orang tua kandungku. Menurut cerita yang kuragukan kebenarannya, aku ditinggalkan begitu saja di depan pintu Panti Asuhan Kasih Ibu.

Pak Temon yang menemukanku waktu ia membuka pintu untuk mulai menyapu halaman panti asuhan. Tentu saja Pak Temon kaget bukan kepalang melihat sebuah keranjang rotan berisi bayi yang masih merah tergeletak di depan pintu. Bayi itu adalah aku, tidur lelap dalam lampin berwarna ungu. Tak ada surat-surat ataupun barang berharga dalam keranjang itu.

“Padahal udara dingin,” kata Pak Temon sambil mengerut-ngerutkan dahi mengingat-ngingat. “Semalaman hujan lebat. Pagi itu pun gerimis masih turun. Tapi kau tidak menangis kedinginan. Pasti siapapun yang menaruhmu pasti sudah membuatmu kenyang dan hangat lebih dulu sebelum meninggalkanmu.”

Waktu kuceritakan hal itu pada Bunda, ia tertawa terpingkal-pingkal. “Tentu saja itu tidak benar,” katanya setelah berhenti tertawa. Menurut Ibu Yanti kepala Panti Asuhan Kasih Ibu, ibumu meninggal waktu melahirkanmu.”

“Dimanakah makamnya kalau begitu?”

Bunda memandangku dengan serius. “Bunda tidak tahu,” sahutnya.

“Ayah?”

“Kalau Bunda tidak tahu, pasti Ayah tidak tahu.”

Aku menunduk menekuk-nekuk jari-jariku. Kami sedang duduk di teras belakang. Aku baru saja selesai memangkas cabang-cabang Morning Glory yang tumbuh liar. Sebenarnya Ayah berjanji akan memangkasnya, tapi tiga minggu berlalu dan Ayah masih sibuk dengan proyeknya, hingga akhirnya aku turun tangan sendiri mencukur tanaman rambat yang tumbuh lebat dan liar itu.

Tangan Bunda memegang tanganku. “Kila,” panggilnya dengan lembut. “Percayalah pada kami. Bunda dan Ayah tidak menyembunyikan apapun. Bukankah kau masih ingat cerita Ibu Yanti, pengelola panti, kau masih ingat padanya, kan? Ayahmu seorang pelaut, ia meninggal ketika kapalnya dihantam badai.”

Aku memandang Bunda dengan sedih. Ya, aku ingat cerita itu. Ayahku seorang pelaut dan ia meninggal di laut, tentu tak ada makamnya. Aku pun masih ingat cerita Ibu Yanti bahwa ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku. Tapi kenapa Bunda tak tahu dimana makam ibu kandungku?

Barangkali Bunda bisa membaca pikiranku, sebab katanya kemudian “Ibumu anak tunggal, orangtuanya sudah tak ada. Itu sebabnya Ibu Yanti mengambilmu. Pihak rumah sakit yang kemudian mengurus jenazah ibumu.”

Air mataku menitik mendengarnya. Aku takkan pernah bisa berziarah ke makam orang tua kandungku.

Kudengar Bunda menarik nafas panjang. Dibelainya rambutku yang lurus. “Ada apakah?” tanyanya dengan lembut, “Kanapa mendadak kamu menanyakan ini?”

Aku makin menundukkan kapalaku. Aku tahu bahwa aku bukan anak kandung Bunda dan Ayah. Mereka memungutku dari Panti Asuhan Kasih Ibu waktu aku kelas enam. Selama ini aku merasa tak punya masalah, malah bersyukur karena diadopsi sepasang suami istri yang lemah lembut dan baik hati. Memang, beberapa kali terpikir olehku untuk mencari identitas orang tua kandungku. Tetapi pikiran itu biasanya kubuang jauh-jauh, sampai minggu kemarin waktu aku sedang berada di rumah Mellisa bersama Vitha, karena kami akan pergi bersama-sama ke perayaan ulang tahun Karina.

Aku sedang membalik-balik majalah sambil tengkurap di ranjang Mellisa yang empuk, ketika kudengar suara temanku itu. “Kamu tidak mirip ibumu,” kata Mellisa sambil mematut-matut roknya di depan cermin. “Kamu lebih mirip dengan Ayahmu.”

Aku berhenti membalik-balik majalah. Tentu saja kami tidak mirip, jawabku dalam hati, karena aku bukan anak kandung Bunda. Tetapi mirip Ayah? Ha! Ayah berkulit sawo matang, perawakannya tinggi dan besar. Suaranya berat dan dalam. Wajahnya biasa saja malah agak ndeso menurutku. Sebaliknya Bunda tinggi semampai. Kulitnya putih kekuningan layaknya orang China peranakan. Rambutnya panjang dan bergelombang, membingkai wajahnya yang bulat telur dan cantik. Suaranya lembut dan halus.

“Tentu saja Kila tidak mirip ibunya,” kata Vitha yang menelungkup di atas karpet di lantai. “Ia kan bukan anak kandung Tante Rossa.”

Jantungku seolah berhenti berdetak. Wajahku terasa panas. Mellisa berhenti memperhatikan bayangannya di cermin dan memutar badannya menghadapku.

“Benarkah demikian?” tanyanya padaku.

Aku diam saja. Kutatap Vitha dengan sangat marah. Alangkah lancangnya dia! Alangkah beraninya dia membongkar rahasiaku!

Dari tempatku Vitha memandangku tanpa rasa bersalah sama sekali. “Bukankah demikian?” katanya. “Ibuku yang mengatakannya padaku.”

Kenapa orang-orang suka bergunjing? Dengan sengit kulempar majalah yang sedang kulempar ke lantai. Orang tua Vitha memang teman Ayah. Mereka sudah cukup lama saling kenal. Tentu saja mereka tahu persis bahwa Ayah dan Bunda mengadopsiku dari sebuah panti asuhan. Tetapi apa perlunya mereka menggunjingkan hal itu? Apa gunanya Tante Laksmi mengatakannya pada Vitha? Bukankah mengadopsiku adalah urusan dan keputusan pribadi orang tuaku?

“Kila, benarkah demikian? Mellisa masih terus menuntut jawaban.

“Kalau benar,kenapa?”tantangku dengan sebal.

Mellisa mengangkat pundak. “Ingin tahu saja,” sahutnya.

“Sekarang kau sudah tahu, terus bagaimana?”

“Apakah kau tidak ingin tahu siapa orang tua kandungmu?”

Aku hampir tak mempercayai apa yang telah aku dengar. “Apa?” tanyaku lagi.

“Kau tidak ingin tahu siapa orang tua kandungmu?”

Aku terdiam. Orang tua kandung? Ibu dan Ayah biologisku? Menurut Ibu Yanti, Ayah meninggal di laut, dan Ibu meninggal waktu melahirkan aku. Itu saja yang aku ketahui, identitas mereka memang gelap. Aku bahkan tak tahu nama mereka, dimana mereka berasal.

Tetapi seandainya aku tahu siapakah mereka, apakah yang akan aku lakukan? Kupandang Vitha dan Mellisa yang menunggu jawaban. “Tidak,” dustaku. “Aku tidak ingin tahu siapa mereka.”

“Kenapa?”

Aku bangkit dari ranjang dengan marah. “Karena aku tidak ingin tahu.” Masih dengan kemarahan yang menyala-nyala aku keluar dari kamar Mellisa. Di teras, kukeluarkan telpon genggam dari dalam saku dan kutelepon Ayah.

“Ayah, tolong jemput aku,” kataku tanpa pembukaan begitu Ayah mengangkat telpon.

“Kau masih di rumah Mellisa?”

“Masih, aku ingin pulang.”

“Lho, bukankah kalian akan pergi ke pesta?”

“Tidak lagi.”

“Pestanya batal.”

“Ayah!”

Ku dengar Ayah menarik napas panjang. “Baiklah,” katanya. “Ayah bereskan gambar ini dulu.”

“Berapa lama?”

“Satu jam lagi Ayah jemput.”

“Oke.” Kumatikan telpon lalu duduk di bangku batu. Rasa marahku belum menyurut. Lancang benar Vitha! Kalau dia dengan enteng membuka rahasiaku pada Mellisa, tentu dia akan memberi tahu seantero sekolah. Bahkan mungkin Mellisa juga akan menyiarkan kabar itu. Dalam hitungan menit seluruh sekolah akan tahu kalau aku anak pungut! Malah mungkin mereka semua sudah tahu, dan asik menggunjingkan aku di belakang punggungku.

********

Ayah menjemputku tepat satu jam setelah aku menelpon. Demi sopan santun, meski pun sebenarnya tak ingin aku lakukan, aku berpamitan pada kedua temanku, Mellisa dan Vitha.

“Maafkan aku,” bisik Vitha ketika Mellisa dan Ayah tak melihat. Aku pura-pura tak mendengar dan bergegas masuk ke mobil.

Dalam mobil yang membawa kami ke rumah, tak ada seorang pun yang bicara. Ayah menyetir dengan berdiam diri. Saat ini aku sangat merindukan Bunda. Sayang, Bunda sedang berada di Solo, menghadiri pernikahan anak seorang teman baiknya.

Tak berapa lama kami sudah sampai di rumah, Ayah memarkir mobil di garasi. Aku masuk lewat pintu dapur. Di ruang tengah kelempar tasku ke sofa, dan kujatuhkan badanku di atasnya.

Kudengar suara denting gelas di dapur. Lalu suara Ayah, ”Kila, kau mau minum, Nak?”

“Tidak,” sahutku, merasa bersalah karena harusnya aku mengurus Ayah seperti pesan Bunda padaku sebelum berangkat.

Ayah membawa gelasnya ke ruang tengah. Ia meletakkannya di atas meja yang pendek, lalu duduk di sofa. Kuturunkan kakiku untuk memberinya tempat.

“Nah, apakah kau mau bicara sekarang?”

Kutatap wajah Ayah yang tidak tampan, yang menurutku ndheso. Tapi ah, sungguh, tatapan mata Ayah begitu lembut dan teduh, membuatku merasa tenang dan nyaman. Lalu ceritaku mengalir begitu saja. Ayah mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela sampai aku selesai bicara.

“Jadi kau marah pada Vitha?” katanya kemudian setelah hening beberapa saat.

“Aku benci padanya! Ia lancang! Bocor mulut! Tukang gossip!”

“Kila, tidak baik memaki orang.”

“Dia kelewatan! Dia bilang aku . . . . aku anak pungut.” Kupandang Ayah dengan putus asa. Kemudian air mataku tumpah begitu saja.

Ayah meraihku dalam pelukannya. Di dadanya yang bidang aku tersedu-sedu. Dibelai-belai punggungku sampai aku tenang kembali. Tanpa kata-kata Ayah mengulurkan sapu tangannya untuk membersit hidungku.

“Satu hal yang harus kau ingat,” katanya sambil tetap membelai rambutku. “Kita tidak bisa menghentikan orang yang membicarakan kita. Harus kamu sikapi dengan sabar dan arif. Tentang Vitha yang mengatakan bahwa kau anak pungut…. hmmmm….. meskipun demikian kenyataannya, bukankah kami menyayangimu seperti anak kandung Ayah dan Bunda sendiri?”

Memang benar Ayah dan Bunda tak ubahnya seperti orang tua kandungku sendiri. Sejak mengadopsiku beberapa tahun yang lalu, kasih sayang mereka tak pernah berubah. Aku mereka perlakukan dengan sangat baik.

“Apakah menurutmu kami kurang menyayangimu?”

Dengan  terkejut kuangkat wajahku dari dada Ayah. “Tentu tidak!” seruku.

“Jadi kenapakah kau masih marah, Nak?”

Aku tak berani memandang Ayah. Bagaimana harus kukatakan padanya bahwa aku ingin menjadi anak kandungnya? Bukankah itu hal yang sangat mustahil? Bukankah harusnya kusyukuri karena aku telah diadopsi oleh Ayah dan Bunda, dan menikmati kasih sayang yang melimpah ruah setiap harinya?

“Kila.” Ayah memegang daguku, memutar kepalaku dengan lembut agar memandangnya. “Ada yang belum kamu katakan, Nak? Apa itu?”

Mata Ayah yang coklat tua menatapku dengan lembut. Alangkah teduhnya matanya, seperti telaga yang sejuk dan dalam, yang menenggelamkan diriku ke dalamnya.

“Ayah….” air mataku mengalir seperti banjir. Kupeluk Ayah erat-erat. “. . . . . aku tidak ingin dianggap anak pungut. Aku ingin selamanya menjadi anak Ayah dan Bunda.”

“Kila, kamu anak Ayah dan Bunda. Itu tak akan pernah berubah. Jangan kuatir, Nak?”

“Ayah tidak akan mengembalikan aku kan?”

“Mengembalikanmu pada Ibu Yanti? Tentu tidak, Nak.”

Kusurukkan wajahku lebih dalam kedadanya. “Sungguh?”

Sesaat Ayah terdiam, lalu katanya,”Tidak, tidak akan. Dari mana kamu dapat pikiran seperti itu?”

Aku tak menjawab. Kupejamkan mataku. Kupeluk Ayah erat-erat.

 

************

 

Bunda menarik nafas panjang mendengar ceritaku. Dengan sedih dipandangnya aku. “Setelah itu, apakah yang terjadi? Bunda rasa ada sesuatu yang menyedihkan hatimu, Nak?”

Kususut mataku yang tiba-tiba berair. Bagaimana musti kukatakan pada Bunda bahwa sejak malam itu berita bahwa aku seorang anak pungut beredar di sekolah secepat api membakar padang rumput kering? Aku merasa semua orang memandangku dengan sorot mata yang berbeda. Entah apa maksudnya, belas kasihan atau rasa ingin tahu. Tetapi yang lebih menyakitkan hati tentu Arial yang berubah sikap. Bila tadinya ia selalu mencariku pada jam-jam istirahat, atau mencari-cari alasan untuk menegurku, sekarang ia lebih suka mengahabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia sudah lupa padaku.

“Kalau kau tidak ingin menceritakannya, tidak apa-apa,” kata Bunda lagi. “Tetapi kapan saja kamu perlu bicara, Ayah dan Bunda siap mendengarkan. Cerita Pak Temon, tak usahlah kamu pikirkan. Mustinya kau tahu kalau Pak Temon dari dulu suka mengarang cerita, dan bahkan sekarang ia sudah pikun.”

Bunda hendak berdiri tapi ku pegang ujung celananya, membuatnya mengurungkan niat untuk pergi dari tempat itu.

            “Bunda. . . “ Kupandang wajahnya yang cantik, sorot matanya yang sabar. “. . . teman-teman di sekolahku tahu bahwa aku bukan anak kandung Ayah dan Bunda.”

            Untuk sesaat Bunda tak bicara. Kemudian ia menarik napas panjang. “Pastinya hal itu mengganggumu,” katanya lembut.

            “Sangat. Mereka menghindariku, seperti . . . . seperti. . . . , “ suaraku tercekat, “apakah aku harus menjadi anak kandung Bunda supaya aku punya teman? Dan Arial. . . .” Aku berhenti, sadar kalau aku sudah bicara terlalu banyak.

            “Arial. . . ? Hmmmm . . . .” Bunda mengerutkan kening. “Arialbyan? Yang pernah kemari menjemputmu pergi ke bioskop?”

            “Uh. . . .ya. . . .”

            “Ya, Bunda ingat. Tampan juga.” Ia tersenyum kecil. “Ada apa dengan Arial? Apakah dia juga menjauhimu?”

            Bagaimana Bunda bisa menduga dengan tepat? Kupandang wajahnya dengan curiga. Apakah Bunda mencuri baca buku harianku? Tidak mungkin. Bunda dan Ayah bukan model manusia usil dan ingin tahu urusan orang lain.

            “Kami tahu kau punya buku harian, tapi jangan khawatir. Bunda dan Ayah tidak mencuri baca.”

            Aku tergagap. “Bukan begitu, Bunda. Aku percaya. Tapi. . . . tapi bagaimana Bunda bisa tahu?”

            “Sikapmu menunjukkannya.” Bunda menjulurkan kakinya dan bersandar ke tiang teras. “Raut wajahmu berubah begitu Bunda menyebut namanya?”

            Oh.

            “Jadi benar dia menjauhimu?”

            “Ya. Sejak ia mendengar bahwa aku anak pungut. Tak jelas asal-usulku.”

            Tak ada jawaban dari Bunda kecuali helaan napasnya yang terdengar berat. “Kalau benar dia menjauhimu karena perkara itu, apa pendapatmu tentang dia?”

            Beberapa kuntum bunga Morning Glory yang ikut terpangkas, tampak mulai terkulai layu di rerumputan. Kuraih sekuntum yang tergeletak di dekatku. Helai-helai daunnya yang biru terasa sangat halus seperti beludru..

            “Kalau Arial tidak bisa menerimaku apa adanya, dia tidak pantas untuk menjadi…temanku.” Kulempar bunga itu ke rumput.

            “Kau yakin?”

            Mataku terasa panas. “Ya,” sahutku sambil menundukkan kepala, menyembunyikan air mata yang menetes.

            Kurasakan tangan Bunda di pundakku. Ia tak mengatakan apa-apa. Lama kemudian ia merengkuhku dalam pelukannya.

“Bunda ingin kau menjadi perempuan yang kuat, Nak,” ujarnya dengan lembut. “Perempuan yang berani mengambil keputusan untuk kebaikan sendiri. Saat ini kau sedang belajar menjadi kuat.  Ayah dan Bunda akan tetap menyayangimu sampai kapanpun.”

 

 

 

 

 

Nama :  Bekti Megapuri S

No      :  5

Kelas  :  XII IPA 5

Tinggalkan komentar